Kamis, Juli 25, 2024
BerandaEKONOMI PEDESAANKala Transmigrasi Mengubah Wajah Pertanian di Kabupaten Sintang

Kala Transmigrasi Mengubah Wajah Pertanian di Kabupaten Sintang

  • Transmigrasi di wilayah Pandan khususnya Desa Merarai Satu dimulai pada tahun 1981 – 1982, dengan didatangkannya warga luar Kalimantan yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
  • Setiap kepala keluarga mendapatkan lahan pekarangan rumah seluas 50 x 50 m2 ditambah lahan usaha 1 dan 2. Lahan usaha 1 yang dimaksud berupa sebidang tanah berukuran 0,75 ha yang diperuntukan untuk pertanian dan lahan usaha 2 diperuntukkan untuk perkebunan seluas 1 ha.
  • Program transmigrasi dihadapkan dengan adaptasi lingkungan baru dan masyarakat lokal, sebagai mana diketahui terdapat perbedaan dalam budaya dan komunikasi bahasa serta kondisi geografis yang berbeda untuk ditanami tanaman pangan.
  • Masuknya investor/perusahaan di bidang perkebunan kelapa sawit tentunya dapat dikaji dari segi mudhorat dan maslahatnya. Tembawang-tembawang peninggalan masyarakat lokal kini semakin berkurang keluasannya, mengingat banyaknya alih fungsi lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit.

 

Daniel warga asli Desa Merarai Satu bercerita mengenai bagaimana ia tertarik mencoba budidaya tanaman holtikultura semenjak melihat keberhasilan warga transmigrasi di desa tempat ia tinggal. Menurutnya suku Dayak terkenal dengan kemampuan berburu dan meramu namun untuk sektor pertanian dirasa masih kurang diminati.

Daniel tak segan-segan belajar dari warga transmigrasi untuk mengembangkan lahan pertanian. Saat ini setidaknya ada 5 komoditas yang ia kelola di lahan seluas 0,5 ha. Adapun komoditas yang dikembangkan berupa tanaman cabe, kacang panjang, sawi, gambas, dan tomat.

“Saya banyak belajar dari teman-teman transmigrasi di desa, saya ingin menghapus stigma bahwa warga lokal tidak bisa menyangkul. Asalkan ada kemauan dan bersunggung-sungguh maka semua bisa dilakukan dengan baik. Saya mulai dari keluarga terdekat untuk dirangkul mengolah lahan untuk pertanian kemudian ke tetangga-tetangga sekitar”. Ungkapnya.

Kabupaten Sintang terdapat beberapa wilayah untuk lokasi program transmigrasi, meliputi Kecamatan Sungai Tebelian, Tempunak, Sepauk, Kelam Permai, Dedai, Binjai, dan Ketungau Hilir, melalui transmigrasi umum.

Khususnya di Desa Merarai Satu memulai program transmigrasi pertama kali tahun 1981-1982 melewati program Pembangunan Lima Tahun tahap III (PELITA III). Di wilayah Pandan menitik beratkan pada program tanaman pangan baik lahan basah maupun lahan kering.

Sehari-hari dalam dinamika sosial kehidupannya para transmigran masih memegang adat istiadat serta tradisi yang dibawa dari pulau Jawa seperti gotong royong, kegiatan keagamaan seperti selamatan dan kesenian seperti wayang kulit, wayang orang, dan kuda lumping.

Hal ini menyebabkan adanya akulturasi budaya di wilayah Pandan. Dapat dijumpai ketika ada warga yang akan menikah dan melaksanakan tradisi Rewang, warga trans dan lokal secara bersama-sama gotong royong saling membantu satu sama lain.

Kebijakan mengenai pembagian hak atas tanah

Transmigrasi di wilayah Pandan dimulai pada tahun 1981 – 1982, dengan didatangkannya warga yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pola yang diterapkan pada transmigrasi ini mendapatkan hak perolehan atas tanah dan lahan. Untuk warga transmigrasi dan penduduk asli mendapatkan hak yang sama.

Setiap kepala keluarga mendapatkan lahan pekarangan rumah seluas 50 x 50 m2 ditambah lahan usaha 1 dan 2. Lahan usaha 1 yang dimaksud berupa sebidang tanah berukuran 0,75 ha yang diperuntukan untuk pertanian dan lahan usaha 2 diperuntukkan untuk perkebunan seluas 1 ha. Tidak ada perbedaan antara warga lokal dan warga pendatang melalui transmigrasi, semuanya mendapatkan hak atas tanah yang sama.

Dahulunya sebelum masuk program transmigrasi, warga asli setempat tinggal di rumah betang secara berkoloni dengan mengelola tembawang-tembawang yang ada. Mulailah pada tahun sekitar 1981 – 1982 semenjak masuknya transmigrasi, warga mulai meninggalkan rumah betang dan membangun rumah secara pribadi.

Baca juga: Rumah Kompos, Harapan Baru Petani di Hulu Sepauk Sintang, Seperti Apa?

Daniel sedang menunjukkan lahan yang ia kelola seluas 0,5 ha dengan menerapkan cover crop sawit dan holtikultura. Foto: Nurmanto/Rimba Aksara

Tantangan yang dihadapi

Seiring berjalannya waktu dalam program transmigrasi dihadapkan dengan adaptasi lingkungan baru dan masyarakat lokal, sebagai mana diketahui terdapat perbedaan dalam budaya dan komunikasi bahasa serta kondisi geografis yang berbeda untuk ditanami tanaman pangan.

Suratno, merupakan warga transmigrasi yang cukup sukses mengembangkan pertanian dan perkebunan berkelanjutan di Desa Merarai Satu, ia bercerita mengenai dinamika sosial transmigrasi yang ada di kampungnya saat ini.

“Saya sangat kagum dengan Daniel, ia merupakan salah satu contoh masyarakat lokal yang mau belajar dan banyak bertanya terkait pertanian ke warga transmigrasi. Intinya saling berbagi pengalaman bukan untuk menggurui. Biasanya masyarakat lokal lebih memilih untuk berburu di hutan ataupun menoreh karet ketimbang mengelola lahan pertanian, jikapun ada itupun musiman. Bisa dilihat untuk produsen sayur mayur dikuasai oleh warga transmigrasi dalam hal berniaga dari dalam Sintang maupun luar. Di Desa Merarai Satu ini ada 8 tengkulak sayur, satu di antaranya adalah Daniel yang bertani sayur dan bergelut di perniagaan usaha sayur mayur”. Ujarnya.

Permodalan menjadi aspek kuat dalam tantangan pengembangan di sektor pertanian, tak dapat dipungkiri mahalnya harga pupuk serta hilirisasi masih menjadi polemik dalam pengembangan usaha pertanian. Akses dana pinjaman di lembaga keuangan mikro/makro terbilang cukup mudah, namun di lain hal bunga yang tinggi menyebabkan petani enggan memanfaatan kemudahan itu.

Baca juga : Mengenal Kampung Kopi di Hulu Tempunak, Sintang

Simpang Pandan gerbang menuju pemukiman transmigrasi dan warga lokal di Kecamatan Sungai Tebelian. Foto: Nurmanto/Rimba Aksara

Beralih ke organik

Petani di Desa Merarai Satu kini bertransformasi menyongsong arah perubahan yang lebih baik dalam hal tata kelola pertanian dan perkebunan, melalui sosialisasi terkait RSPO dan ISPO serta menerima pelatihan sekolah lapang petani kelapa sawit, mereka mulai melek terhadap isu lingkungan.

Koperasi Rimba Harapan salah satu contohnya, koperasi yang didirikan pada tahun 2014 ini kini memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO di Kabupaten Sintang melalui pendampingan WWF Indonesia.

Setidaknya ada beberapa entitas seperti koperasi dan kelompok tani yang menerima manfaat dari pendampingan NGo dan instansi terkait dalam bidang pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan.

Daniel yang juga anggota Koperasi Produsen Bondo Sepolo di Desa Merarai Satu merupakan petani penerima manfaat pendampingan Solidaridad Indonesia. Seperti baru-baru ini yang telah mendapatkan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) Kelapa Sawit.

Dalam praktiknya, Daniel mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia di lahan dan menerapkan penggunaan pupuk organik berupa kotoran hewan dan kompos serta bijak dalam penggunaan pestisida.

“Semenjak saya mengikuti pelatihan Sekolah Lapang Petani Kelapa Sawit yang diselenggarakan Solidaridad, saya semakin memahami praktik perkebunan yang berkelanjutan. Kami dulu bergantung terhadap pupuk kimia untuk mengenjot produktifitas, namun kami juga mengimbangi dengan organik agar kualitas tanah tetap baik untuk dikelola, selain itu kami juga lebih bijak dalam menggunakan pestisida sesuai ketentuan yang berlaku”. Paparnya.

Tumpukan karungan kotoran hewan yang akan diigunakan pada tanaman sayuran. Foto:Nurmanto/Rimba Aksara

Nilai sumberdaya hutan.

Dipandang dari keberadaan hutan, hutan juga memiliki peranan yang besar dalam pengaturan tata air dan erosi. Penggunaan lahan hutan untuk pemukiman transmigrasi harus memperhatikan tata kelola yang berkelanjutan agar tidak ada perusakan sistem hutan jika kayu ditebang untuk pengembangan lahan pertanian. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan akan hilang bila sistem hutan dirusak.

Tembawang-tembawang peninggalan masyarakat lokal kini semakin berkurang keluasannya, mengingat banyaknya alih fungsi lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tentunya dalam kehidupan ekonomi terdapat perubahan yang signifikan dalam meningkatkan taraf kebutuhan hidup.

Daniel dan beberapa rekan sesama petani sedang beristirahat di pondok. Foto: Nurmanto/Rimba Aksara

Masuknya investor/perusahaan di bidang perkebunan kelapa sawit tentunya dapat dikaji dari segi mudhorat dan maslahatnya, dari sisi mudhorat dapat dilihat bahwa kehadiran perusahaan menyebabkan masalah baru berupa tenurial dan deforestasi sehingga dibutuhkan perhatian khusus dalam penentuan lokasi Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak merugikan masyarakat setempat.

Dari sisi maslahat berupa terbukanya lapangan pekerjaan yang menyerap warga lokal serta pembangunan infrastruktur jalan, dan diharapkan mampu menaikkan taraf Index Desa Membangun (IDM).

Zonasi pembagian wilayah transmigrasi

Pembagian wilayah transmigrasi dapat dilihat pada penamaan khusus, seperti di Kecamatan Sepauk dikenal dengan istilah Satuan Kelompok Pemukiman (SKP) yang ditandai dengan huruf abjad H dan Satuan Kelompok Pemukiman (SKP) C untuk di Kecamatan Tempunak, begitu juga di tempat lainnya yang ditandai dengan huruf A, B, dll.

Memilih lokasi yang tepat agar tidak menggangu keseimbangan ekologis di daerah tersebut merupakan salah satu masalah penting dalam program transmigrasi. Untuk itu pengetahuan tentang sistem sumber daya fisik dari daerah yang direncanakan sebagai lokasi transmigrasi sangatlah penting sehingga meminimalisir bencana ekologis untuk sekarang dan nanti.

Kondisi jalan menuju Desa Merarai Satu yang juga penghubung ke desa-desa lainnya. Foto: Nurmanto/Rimba Aksara

 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments